Sabtu - Paradigma tentang sukses
Karena tangan gua masih sakit, gua hanya ngetik pake jempol kanan dan lima jari kiri. Yah, gua bakal berbagi dikit tentang topik arti sukses bagi masyarakat (Ind0nesia) khususnya yang mungkin bisa dipertanyakan kebenarannya, dan kebijakannya apabila kita mau memikirkan lebih lanjut. Sebenernya pingin nyambungin dikit topik ini dengan 'happines' sebagai salah satu patokan hidup sukses, tapi apa-daya tangan lagi sakit, jadi gua posting email yang gua dapet dari temen ini aja:
Rudy Habibie dan Rudy Chaerudin, Sukses Mana?
Saya ingat waktu di SMA dulu, kami (murid) harus menjalani test IQ untuk penjurusan. Sekolah saya menetapkan bahwa murid2 dengan IQ tinggi bisa masuk ke jurusan IPA/Science. Murid dengan IQ sedang hanya bisa masuk jurusan Sosial dan yang paling rendah IQnya hanya diijinkan untuk masuk ke jurusan Bahasa. Aturan di sekolah saya ternyata berlawanan dengan aturan dari SMA swasta terkenal di Yogyakarta yang mengarahkan anak-anak yang ber IQ paling tinggi justru ke jurusan Bahasa.
Sewaktu saya diskusi dengan Romo Mangun Wijaya (Alm) tentang kurikulum sekolah, Beliau mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih mewarisi "budaya" kolonial Belanda. Menurut beliau, seharusnya anak-anak yang kecerdasannya tinggi seharusnya diarahkan untuk masuk jurusan Sosial supaya di masa mendatang akan lahir ekonom, hakim, jaksa, pengacara, polisi, diplomat, duta besar, politisi, dsb yang hebat2. Tetapi rupanya hal itu tidak dikehendaki oleh penguasa(Belanda). Belanda menginginkan anak-anak yang cerdas tidak memikirkan masalah2 sosial politik. Mereka cukup diarahkan untuk menjadi tenaga ahli/scientist,arsitektur, ahli computer, ahli matematika, dokter, dsb yang asyik dengan science di labolatorium (pokoknya yang nggak membahayakan posisi penguasa). Saya nggak tahu persis yang benar Romo Mangun Wijaya atau pemerintah Belanda. Hanya saja waktu itu saya yang kuliah ambil jurusan Kurikulum jadi patah semangat karena kayaknya kurikulum di Indonesia ini hampir tidak ada hubungannya dengan kehidupan yang akan dijalani orang setelah keluar dari sekolah. Kita bisa lihat, Insinyur yang menjadi politisi bahkan memimpin parlemen, kemudian dokter (umum) bisa menjadi kepala Dinas P & K atau tenaga marketing, sarjana theologia yang jadi pengusaha, dsb.
Sampai saat ini, masih banyak orang tua dan masyarakat yang beranggapan bahwa anak yang hebat adalah anak yang nilai matematika dan science-nya menonjol. Paradigma berpikir orang tua/masyarakat ini sangat mempengaruhi konsep anak tentang kesuksesan.
Bulan Juni 2003 yang lalu, lembaga tempat saya bekerja mengadakan seminar anak-anak. Di depan 800-an anak, Kak Seto Mulyadi (Si Komo) menunjukkan 5 Rudy.
Yang pertama Rudy Habibie (BJ Habibie) yang genius, pintar bikin pesawat dan bisa menjadi presiden.
Yang kedua: Rudy Hartono yang pernah beberapa menjadi juara bulu tangkis kelas dunia.
Yang ketiga: Rudy Salam yang suka main sinetron di TV
Yang keempat: Rudy Hadisuarno yang ahli dibidang kecantikan dan punya banyak salon kecantikan di beberapa kota.
Yang kelima: Rudy Choirudin yang jago masak dan sering tampil memandu acara memasak di TV.
Sewaktu Kak Seto bertanya "Rudy yang mana yang paling sukses menurut kalian?" Hampir semua anak menjawab "Rudy Habibie." Sewaktu ditanyakan "Mengapa, kalian bilang bahwa yang paling sukses Rudy Habibie?" Anak-anakpun menjawab "Karena bisa membuat pesawat terbang, bisa menjadi presiden, dsb" Sewaktu Kak Seto menanyakan "Rudy yang mana yang paling tidak sukses?" Hampir seluruh anak menjawab "Rudy Choirudin" Ketika ditanyakan "Mengapa kalian mengatakan bahwa Rudy Choirudin bukan orang yang sukses?" Anak-anakpun menjawab "Karena Rudy Choirudin hanya bisa memasak." Memang begitulah pola pikir dan pola asuh dalam keluarga dan masyarakat Indonesia pada umumnya yang masih menilai kesuksesan orang dari karya-karya besar yang dihasilkannya. Masyarakat kita banyak yang belum bisa melihat kesuksesan adalah pengembangan talenta secara optimal sehingga bisa dimanfaatkan dalam kehidupan yang dijalaninya dengan "enjoy". Banyak masyarakat kita yang beranggapan bahwa IQ adalah segala-galanya. Padahal kenyataannya EQ, SQ dan faktor2 lain juga sangat menentukan.
Dalam seminar tsb Kak Seto hanya ingin merubah paragidma berpikir anak-anak (dan juga orang tua/keluarga). Anak-anak dan orang tua harus menyadari dan mensyukuri setiap talenta yang diberikan oleh Tuhan. Bila talenta tersebut dikembangkan dengan baik, maka kita bisa mencapai kesuksesan di "bidangnya". Jadi untuk anak-anak yang tidak pintar matematika, anak2 tidak perlu minder dan orang tua tidak perlu malu atau menekan anak. Anak-anak yang lebih menyukai pelajaran menggambar dari pada pelajaran2 lain, bukanlah anak-anak yang bodoh karena justru anak2 yang punya imajinasi tinggilah yang pintar menggambar/ melukis. Anak-anak yang suka ngobrol, kalau kita arahkan bisa saja kelak menjadi politisi atau negotiator yang baik. Anak-anak yang banyak bicara, kalau diarahkan untuk menuliskan apa yang ingin dibicarakan bisa2 menjadi penulis yang hebat. ***
Mbak Dwi Setyani juga mengingatkan kita untuk lebih memfokuskan pada kekuatan kita dari pada "wasting time" bersungut-sungut, hanya memikirkan kelemahan kita. Saya pernah membaca pengalaman hidup seorang penyanyi di Amerika. Penyanyi tsb dulunya tidak PD karena wajahnya tidak terlalu cantik dan giginya tonggos. Saat menyanyi di pub, dia repot mengatur bibirnya supaya giginya yang tonggos tidak dilihat orang. Hasilnya: ia hanya bisa menghasilkan suara yang pas-pasan. Ketika temannya meyakinkan bahwa giginya yang tonggos itu bukanlah masalah, maka iapun bisa menyanyi dengan bebas dan meng-eksplore suara emasnya. Ternyata orang-orang mengingat penyanyi itu karena kualitas suaranya, bukan parasnya yang jelek dengan gigi tonggosnya. ***
Kitapun meyakini bahwa Tuhan menciptakan setiap kita (manusia) dengan maksud yang terbaik demi kemuliaan-Nya. Kalau saja kita meyakini hal tersebut, maka semua orang akan mensyukuri keadaan dan memanfaatkan talenta yang Tuhan berikan untuk kemuliaan-Nya.
-sekian-
-semoga-dunia-lebih-damai-
4 Comments:
Renungan yang bagus dan benar adanya.
Kalau mau balik ke mana asal kita, bukankah harusnya tidak ada rasa minder pada diri kita?
Bukankah kita diciptakan menurut Gambar dan Rupa Allah?
Tapi sayangnya, sesama manusia, yang bukan pencipta malah menciptakan sendiri standar-standar sosial yang akhirnya menciptakan gap-gap yang bersifat merusak. Alhasil, yang muncul malah adanya orang-orang minder, tak percaya diri, mengeluh kenapa tidak diciptakan seperti bintang film A, dll.
Aku suka dan setuju banget dengan statementmu:
Tuhan menciptakan setiap kita (manusia) dengan maksud yang terbaik demi kemuliaan-Nya
Good post Brother :)
Thanks Dan, tapi actually the statement that you mentioned is part of the email that I got, and not my own statement. :) but that's doesn't really matter ... just feel the need to do some clarification ...
Aku juga pernah denger-denger tentang "fenomena Rudy" ini. Setuju banget deh. Kalo Pak Habbie suruh main badminton membela Indonesia, pasti bukannya menang malah penyakitnya kambuh. Aku juga nggak mau naik pesawat yang didesain Rudy Hartono (takut ambruk). Aku juga nggak mau di masakin sama Rudy Hadisuwarno (takut keracunan, masakannya tercampur ama shampo). Gak mau juga cukur rambut sama Rudy Choirudin, takut rambutku gosong..
Everyone is beautiful in its own way... :)
Kabul, good topic. Saya sudah coba terapkan ini di kantor, masing-masing orang ada 'posisinya' dan adalah salah mengharapkan orang menjadi satu orang yang terbaik (menurut versi kita).
Cuma buat anak-anak di rumah, masih ada sih kekhawatiran ... padahal kenapa musti khawatir ya. Yang Di Atas sana yang menjamin rezeki anak-anak kita ... bukan kita ...
Post a Comment
<< Home