Sunday, July 24, 2005

Minggu Sore - Tentang Pengemis













Waktu gua balik ke Indo, summer 3 tahun lalu.
Dalam perjalanan kami ke Tunjungan Plaza,
Gua ngeliat ada pengamen di perempatan,
kemudian, gua kepikiran buat kasih itu orang 100 rupiah (atau 1 cent usd)
Rupanya pengemis itu lagi kurang beruntung, karena kakak gua stopin gua. Sambil melambai2kan tangan, dia bilang kalo misalnya
"sebagai orang yang masih muda, dia engga seharusnya ngamen,
dia itu seharusnya mencari pekerjaan yang lebih layak"

Gua lumayan sedih,
"yah, gua memang tahu. dia masih muda, dan seharusnya bekerja yang bener; tapi gua yakin kalo dia perlu uang buat makan, dan kalo semua pengendara mobil yang lewat berpikiran kayak kakak gua, dia pasti malam ini bakal kelaparan, dan mungkin kasus extremenya kelaparan sampai mati kalau dia pantang mencuri"

Selagi sibuk nyetir,
kakak gua mencoba meyakinkan gua sambil ngomong "kalo loe kasih orang gituan uang melulu, dia engga bakal maju-maju malahan dia bakal semakin malas, dan engga akan pernah kepikiran untuk memajukan hidupnya"

Dibalik lantunan lagunya Ebiet G. Ade,
kepala gua engga bisa berhenti mikirin
"engga akan pernah kepikiran untuk memajukan hidupnya" mengapa harus begitu?
"engga akan pernah kepikiran untuk memajukan hidupnya" kenapa bisa begitu?
"engga akan pernah kepikiran untuk memajukan hidupnya" bagaimana cara mengubahnya?
"apa yang sebenarnya terjadi terhadap mereka?"
"apa yang memulai semua yang mereka alami?"
"kenapa kerangka pikiran mereka adalah seperti itu adanya?"

yang gua tahu, kebanyakan dari mereka pastilah engga berpendidikan. Dengan kata lain, kalo pendidikan memang ada hubungannya ama 'bagaimana cara hidup' berarti mereka memang lebih tidak mengerti tentang 'bagaimana cara hidup' dibandingkan kita.

Gua juga tahu mereka tinggal di lingkungan kumuh, bersama orang-orang kumuh lain, yang maaf, tentunya juga lebih tidak mengerti tentang 'bagaimana cara hidup' dibandingkan dengan orang-orang di lingkungan kita (keluarga, teman, rekan-kerja).

Dan, karena mereka tidak bisa berpikir, mungkin "sebijak" kebanyakan dari kita, tentu saja adalah masuk akal kalo mereka tidak langsung mendadak mengerti kalau mereka itu tidak seharusnya ngamen, kalau saja mereka itu sebenernya punya potensial yang juga tak terbatas, kalau saja mereka itu tidak hanya harus hidup dengan mengemis.

Apalagi seharian mereka mesti memikirkan cara agar tidak mati kelaparan, tidur kedinginan. Bagaimana sempet mereka memikirkan cara untuk meningkatkan kualitas hidup mereka?

Terus, kalo kita bertanya, kenapa mereka bisa engga berpendidikan?
Kenapa mereka bisa tinggal di lingkungan kumuh?
Kita semua tahu jawabannya, karena negara kita miskin dan pengemis, serta orang miskin masih ada dimana-mana, dan mungkin adalah takdir mereka untuk dilahirkan sebagai pengemis.

Selain masalah pendidikan dan lingkungan.
Mereka juga makan makanan yang tentunya kalah bergizi dibanding makanan kita. Sehingga kita yang kebanyakan protein semakin pinter dan mengerti 'bagaimana cara hidup' sedangkan mereka yang makan nasi dan garam, semakin keasinan tentang 'bagaimana cara hidup' mereka .. mereka hanya melihat contoh-contoh dari lingkungan mereka sendiri. Bukankah kita bisa bilang kalo mereka terjebak dalam kemiskinan? Gua pake kata terjebak, karena mau keluar dari kemiskinanpun mereka mungkin 'terlalu lugu' untuk tahu caranya.

Kasihan si adik kecil dan adiknya?

Seperti halnya, bagi orang-orang yang sering nge-net, yang lebih tahu mengenai "komputer" dibanding orang awam. mungkin ketika mereka melihat orang awam yang ketika ingin membuka internet-explorer, mesti pertama-tama membuka 'my computer' terus 'drive-c' terus 'program files' terus 'internet explorer' baru akhirnya 'internet explorer.exe' mereka pasti pingin banget komen .. "oh my gosh, loe masak engga tahu kalo kita bisa pakek short-cut icon, jadi tinggal satu kali klik untuk buka internet explorer?" (unrelated issue: firefox is better btw, hehehe). Programmer2 itu mungkin mikir juga "kalo gua sekarang kasih tahu dia caranya bikin short-cut, entaran dia engga jago2, dan engga ngerti bikin short-cut sendiri." Jadi mereka mutusin untuk cuman ngomenin tentang 'keluguan' orang awam itu, dan tidak membantunya. Alhasil, tanpa ada yang bantu, orang awam itu akan terus jadi awam tentang komputer biarpun awan sudah jadi bawang.

Yah, gua rasa jawabannya sudah jelas banget: they need somebody to teach them. Seperti halnya pengemis2 itu, mereka membutuhkan seseorang untuk membantu mereka, mengajar mereka ... membuat mereka tahu akan hal-hal yang kita tahu.

Kita? tapi kita kan sudah ada pekerjaan masing2 ..
Yah, memang semuanya itu mengenai "panggilan" kalo loe engga "terpanggil" gua rasa juga kaga baik untuk memaksakan diri, dan akhirnya stress sendiri dan takutnya jadi gila dan malah ngerugiin masyarakat, hehehe. (gua juga belon merasa terpanggil).

Tapi yang gua mau tekanin,
kalau2 lebih baik kita lain kali tidak perlu berkomentar yang buruk tentang mereka,
kita bukankah tidak selayaknya bilang kalau "mereka itu pemalas, engga mau maju"
kita seharusnya malu, karena tidak mau mengajar mereka.
kita yang dilahirkan di lingkungan 'lebih bijaksana'
bukankah seharusnya malu karena tidak mengajar mereka?
masak kita malah mesti bilang kalau mereka tidak tahu malu?


Tambahan: beberapa saat lalu gua denger cerita dari seseorang mengenai sukarelawan di Africa. Waktu sukarelawan ini datang ke pedalaman Africa untuk memberikan sumbangan berupa makanan, tetua di desa itu berkata "kami tidak perlu bantuan makanan ini" lalu sukarelawan itu bertanya "jadi apa yang kalian perlukan" "jika kamu benar benar ingin tahu apa yang kami perlukan, hiduplah bersama kami" jawab tetua itu.

Kemudian orang yang lagi bercerita itu, mengatakan kalo dia (seorang pengusaha sukses berjiwa sosial tinggi dan cinta bangsa) mengatakan kalau salah-satu hal yang bisa dilakukan untuk membantu orang-orang miskin di Indonesia itu adalah 'community development'. Konsep itu kurang lebih berisi tentang bagaimana caranya agar kita bisa meningkatkan suatu komunitas, antara lain melalui: peningkatan gizi, peningkatan kebersihan, membantu penduduk komunitas itu untuk menemukan cara mencari uang yang lebih benar, dan lain lain.
Orang yang saya hormati itu sudah mempraktekannya sendiri, dengan mencoba menerapkan Community development ini ke sebuah desa di dekat lokasi pembuangan sampah Surabaya. Dia dan rekan-rekannya sudah berhasil membantu meningkatkan pendapatan penduduk desa itu yang kebanyakan pekerjaanya adalah pemungut sampah. Kalau saya tidak salah ingat, dia mesponsori sebuah mesin untuk mengolah sampah plastik menjadi sampah plastik sehingga desa itu mempunyai mesin sendiri, sehingga mereka bisa produksi biji plastik dan berjualan biji plastik sendiri yang tentunya jauh lebih menguntungkan dibandingkan menyetor sampah plastik. Dan tentunya Orang tersebut tidak merengut sepersen uang pun dari mereka.

Sekali lagi, panggilan masing-masing dari kita berbeda beda, gua bikin posting ini bukan untuk menjadi sok suci, dan sok baek. Terus terang aja kalau dalam konsep berjiwa sosial, gua yang sekarang dan orang yang gua ceritain itu seperti emas murni dan kaleng bosok (saya). Gua cuman sharing ini cerita, karena gua rasa menarik untuk menambah wawasan tentang orang-orang miskin di Indonesia.

Sekian.
Salam-semoga-dunia-lebih-damai.

Baca lebih lanjut mengenai topik serupa di blog teman:
Lagi soal miskin vs kaya,
Jalan Raya
Baca lebih lanjut mengenai seberapa miskin negara kita, dan bagaimana terkadang wakil rakyat kurang sensitif terhadap apa yang lebih penting bagi negara:
Laugh in sadness

*credit to pictures go to the owners.

2 Comments:

Blogger zuki said...

Saya setuju (eh mudah-mudahan yang saya setujui ini memang maksud tulisan ini hehehe ...), kita mulai saja dari lingkungan kita. Mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang!

Soal sedekah, kalau mau ngasih ya langsung aja kasih, jangan dipikir-pikir lagi. Ibaratnya, tangan kanan ngasih kalau bisa tangan kiri nggak tahu ...

4:47 AM  
Blogger Danny said...

Dah baca Kompas hari ini?

9:13 PM  

Post a Comment

<< Home