Rabu Pagi - Hanya sebuah cerita
Orang tuaku bercerita,
kalau-kalau aku pernah hampir binasa.
Kala itu aku masih kecil, belon bisa cari uang,
bahkan belon bisa jalan sendiri.
Hari itu dingin sekali, karena demam tinggi
aku perlu dibawa ke tempat yang hangat,
karena tempat kami tinggal tak berkondisi layak,
dimana rasa hangat hanya muncul ketika mimpi saja.
Maka orang-tuaku berkelana mencari rumah hangat,
rumah hangat yang tak nampak di desa miskin kami.
Rumah pertama yang terlihat hangat enggan membuka mulut.
gemerlap yang ada nampaknya alergi orang miskin,
atau mungkin mereka takut bau kami mencemari makan malam mereka,
apapun kalimat yang didengungkan ke anak-anak kecil
yang menatap polos kearah kami, kami tak mengerti.
kami hanya menyingkir.
Rumah kedua begitu melihat kami langsung tutup mata,
dan pura-pura tidur.
lampu-lampu tak nampak nyala,
karena kurang berpendidikan, tak banyak yang kami tahu
tapi paling tidak kami tahu diri,
kami pun menyingkir.
Rumah ketiga sempat buka mulut,
tapi kami tahu isinya cuman dusta.
sepanjang rel kereta trans-siberia ataupun,
sependek kuku semut,
dusta adalah dusta, tidak ada bedanya.
Tak ingin melukai hati rumah,
yang mungkin berdusta dengan airmata di punggungnya,
kami pura-pura percaya, tersenyum kecil
menyingkir.
Menyerah tidak sedikitpun terpikirkan oleh bapakku,
dingin dan lelah sudah ditimbal oleh tangisanku,
katanya padaku,
melalui tatapan matanya yang basah, dan senyum kecilnya
dibalik bola-bola putih lucu yang bersandiwara
diatas rambutnya. sekali-kali ditampir.
Rumah keempat menutup mulut dan mata juga,
tapi tangannya menunjuk ke rumah diseberang sungai.
Setelah bersusah payah menyeberang,
kami sampai di rumah kelima.
Rumah kelima tak kunjung buka mulut,
tapi malah keluar suara dari matanya,
bilang kalau mereka peduli,
kemudian menyusul - tapi kunci mulutnya hilang,
maka mereka engga bisa mempersilahkan kita masuk.
Tidak mengerti lelucon rumah kaya,
kami memutuskan untuk menyingkir.
Rumah keenam terlihat congkak,
tapi kata ayah begitu melihat bayi nangis,
matanya berkaca-kaca, mulutnya terbuka lebar.
Kami dipersilahkan masuk mencari kehangatan,
asalkan bapak saya mau dijadikan budak,
untuk menebus utang budi ini.
Itu dua puluh tahun lalu,
bersyukur sekarang rumah-rumah sudah
dipasangin simbol-simbol religius,
jadi kalo ada anak-kecil demam lagi,
engga perlu pusing cari rumah buat menghangatkan diri.
Sudah seharusnya bagi ajaran mereka untuk menampung bayi sakit.
Beruntung mereka, tidak seperti aku yang hampir binasa.
Bayangan kira-kira dari saya,
tentang ilustrasi pengalaman bayi sakit yang ditolak enam rumah sakit,
dua puluh tahun setelah dia berhasil diselamatkan.
Berita selengkapnya tentang kejadian itu, silahkan baca disini.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home