Monday, July 18, 2005

Senin Sore - Sedikit untuk teman.















Pernahkah seseorang berkata kepadamu, "Masalah kecil begini saja kamu engga bisa, mana mungkin kamu bisa sukses. Jangan hanya bermimpi di siang bolong!"
Nah, memang sakit dikatain begitu, dan memang ada benernya terkadang kritik itu bersifat membangun dan baik dasarnya. Tapi menurut gua tindakan seperti itu kurang bijak adanya. Apakah memberi masukan itu harus berupa kritik dan menyakiti orang lain? (bahkan terkadang seuumur hidup, tak-terlupakan)

Hari ini aku engga bermaksud mengata-ngatain pengkritik yang kurang tolerir, ataupun memberikan masukan mengenai bagaimana memberi masukan yang baik. Instead, gua bakal kasih cerita dari Cina klasik, tentang bagaimana kita bisa meng-counter omongan seperti diatas. Biarpun untuk 90% keadaan, gua pikir lebih baik kita tidak perlu meng-counter omongan mereka secara langsung; ada baiknya kita menjadi lebih sabar (dengan kata lain: bijak!), dan mengilustrasikan hal berikut didalam hati saja; sehingga kita tidak perlu berkecil hati, sakit hati, dan bahkan kita bisa tersenyum kepada pengkritik kita, dan berkata dalam hati "sungguh kasihan orang ini, sungguh kasihan dia kurang bijaksana."

Demikian cerita yang dimaksudkan:
The following story is taken from the book "The Saying of Lie Zi"
(Illustrator, Editor: Tsai Chih Chung. Asiapac Books: 1992).

Yang agung dan Yang tak berharga
Yang Zhu mengunjungi raja Liang, demikian percakapan mereka.

Yang Zhu: Memerintah kerajaan semudah memegang sesuatu di telapak tangan.

Raja Liang: Kamu punya satu istri dan satu selir yang tak dapat kamu kendalikan, dan tiga hektar kebun yang tak dapat kamu rawat. Kamukah orang yang mengatakan padaku bahwa mengatur kerajaan itu mudah?

Yang Zhu: Baiklah, akan saya terangkan. Pernahkah anda melihat seorang gembala dan kawanannya?

Yang Zhu: Suruh seorang Anak dengan tongkat dibahunya untuk mengikuti sekawanan domba, maka mereka akan pergi ke timur atau ke barat menurut kehendaknya.

Yang Zhu: Suruh Yao* menggiring satu domba, dan Shun* mengikuti dengan tongkat di bahunya dan mereka tak bisa membuat domba-domba itu menurut.

Yang Zhu: Di samping itu Ikan besar yang bisa menelan kapal tidak berenang di sungai kecil.
Burung yang terbang tinggi tidak akan mendarat di kolam kecil atau kubangan air.

Yang Zhu: Inilah sebabnya mengapa dikatakan, "Orang yang memulai suatu usaha besar, tidak mempedulikan hal hal remeh. Seseorang yang mencapai sukses besar, tidak memperoleh yang kecil."

Seseorang anak dapat menguasai ratusan domba; Yao* dan Shun* bahkan tak dapat mengendalikan seekor domba, tapi mereka menguasai kerajaan; dan bahkan menjadi raja legendaris di sejarah Cina.

-Usai Cerita-

Nah, keren kan ceritanya!
Jangan berkecil hati teman-teman pemimpi besar. Bermimpilah setinggi langit, jangan biarkan kritikus-kritikus itu merengut mimpi kita. Biarlah kita tersenyum kecil dan membayangkan di-dalam hati ilustrasi diatas. Bila terpaksa, mungkin kita bisa melontarkan balik cerita diatas, untuk sesekali menghentikan mereka dari kebiasaan mengkritik. Tapi sebisanya, lebih baik kita tersenyum saja, dan melihat tepat ke mata mereka, sambil berkata "aku tahu aku memang serba kurang, benar-benar terima kasih, aku sangat senang untuk mengetahui kamu benar benar peduli tentang aku."

Tanpa bermaksud sok (karena gua masih hijau), gua berharap gua benar-benar bisa menerapkan apa yang baru gua omongin diatas. Mari kita berusaha bersama-sama, memberi senyum kecil kepada setiap hawa negatif, sehingga semoga hawa hawa negatif dunia semua bisa menjadi senyum dan bunga saja.

Senin Baru - Senyum!

Abis aja nonton Spartacus film bikinan Stanley Kubrick (film terkenal bikinan dia: full metal jacket, a clockwork orange) yang diambil dari (I guess) kisah nyata jaman abad pertama2.

Ceritanya kurang lebih tentang a slave yang mau ditrain jadi gladiator bernama Spartacus. Orang ini biarpun engga pernah mengeyam pendidikan, nyatanya lumayan cerdas. Dia bisa punya harga-diri yang tinggi, dan engga menerima kenyataan bahwa dia harus jadi slave seumur hidup.

Dengan memanfaatkan kesempatan yang ada, dia membawa teman-teman slavenya untuk uprising dan bertolak ke barat itali, untuk mencoba kembali ke tanah masing2 dan bebas. Biarpun mereka gagal, dan perbudakan masih merajalela, semangat dan keberaniannya berkata sesuatu terhadap dunia, menampir Kejayaan Roma pada Zaman itu akan keangkuhan mereka.

Kalau dipikir-pikir sungguh aneh hobi orang roma itu. Mereka (cowo dan cewe) bisa enjoy ngeliatin orang-orang (gladiators) saling bunuh gitu. bahkan pada scene dimana pertarungan udah dimenangkan oleh satu pihak, dan dimana orang ini enggan membunuh lawannya, penonton orang roma ini malah berteriak-teriak menyuruh orang itu bunuh lawannya.

Sebenernya yang salah itu orang-orang roma kuno yang keji itu, atau kita yang terlalu lembek. Atau ternyata, manusia sudah berkembang ke peradaban yang lebih manusiawi dan pantas. Mungkin zaman sekarang yang menganggap hal-hal seperti itu keji, sebenarnya menganggap hal-hal demikian keji hanya karena perbedaan zaman saja. Dengan kata lain suatu saat, mungkin 20 abad dari sekarang, sebagian hal-hal yang kita lakuin sekarang adalah keji bagi mereka, karena mereka yang sudah lebih maju bakal mempunyai tingkat manusiawi yang lebih tinggi lagi.

Bukankah demikian nyatanyaa kalo kita pikirkan? Apakah ngedugem semaleman secara berlebihan (menghabiskan ratusan ribu rupiah) memakai uang bapak yang didapet dari memaksimalkan untung, dengan cara meminimalkan hal yang bisa diminimalkan ongkosnya itu disebut manusiawi? sekilas memang iya. Tapi kalo kita mau berpikir lebih jauh, apakah hal 'meminimalkan ongkos' itu benar2 manusiawi? - untuk menggampangkan ilustrasi, pikirkan pernyataan ini: apakah artinya seribu-rupiah di tempat dugem, nah apa artinya seribu rupiah ini bagi anak kecil tukang bajay? (ini sepersepuluh uang sekolah bulananya, kalau ada sepuluh orang merelakan seribuan ini, udah beres uang sekolah adik kecil itu;). Perlukah kita tawar-menawar terhadap orang kecil? Manusiawikah itu?

Yah, tapi gua disini bukan mau ngadilin dan nyeramahin orang (gua juga masih hijau dan berengsek), gua cuman mau ngajak berpikir bersama, merenungkan apa yang patut direnungkan. Kalo loe mau bilang gua ga selayaknya ngomong hal yang gua sendiri ga bisa lakuin, engga apa-apa, hal itu memang lumrah diucapkan. Tapi tanyakan pada nuranimu sendiri, salahkah yang gua omongin? Salahkan pesan-pesan disampaikan oleh Spartacus? Apakah hal-hal yang kita lakuin ini kelak (mungkin 20 abad lagi) bakal disebut sebagai manusiawi?
Apakah kita perlu menunggu orang-orang seperti Spartacus, untuk menampar muka-muka angkuh kita?

Terima-kasih atas waktunya; semoga dunia-lebih-damai!